Jumat, 25 September 2009

Ekosistem Gua

EKOSISTEM GUA
“Suatu Sisi Kehidupan yang Unik Dalam Kegelapan”

Gua merupakan suatu ekosistem yang unik dan sedikit berbeda dibandingkan dengan jenis ekosistem lainnya. Ada yang beberapa yang menganggap bahwa gua merupakan suatu ekosistem yang bersifat tertutup dan terisolasi. Namun hal ini tidak pernah sebenarnya terjadi dalam ekosistem gua. Ekosistem gua sama halnya dengan ekosistem lainnya, dimana berupa sebuah ekosistem yang terbuka dengan semua komponen saling berkaitan baik dalam lingkungan gua maupun lingkungan luar gua. Hanya saja keterkaitan yang tercipta dari interaksi antar komponennya memiliki beberapa karakteristik yang unik menarik.
Ekosistem gua yang akan dibahas kali ini, yaitu ekosistem gua yang terbentuk dari batuan gamping. Oleh karena itu, pertama-tama akan dijelaskan secara singkat mengenai karst atau gunung gamping sebagai asal mula terbentuknya gua batuan gamping ini.
Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah ‘krst / krast’ yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. kosistem Karst adalah areal-areal yang mempunyai lithologi dari bahan induk kapur (http://timpakul.web.id/). Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping (http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:gua).
Pembentukan Gua
1. Kelarutan batu gamping dalam air relatif kecill, tetapi meningkat dengan pekatnya asam. Asam humat dari sampah organik sisa-sisa tumbuhan; asam sulfat dari aktivitas hidrotermal, proses oleh bakteri, atau mineral sulfit yang sering terdapat dalam batu; serta karbon dioksida merupakan sumber asam yang penting (termasuk hujan asam). Air hujan dapat meningkat kelarutannya pada saat melewati tanah yang menutupi batu gamping. Pada saat itu konsentrasi CO2 dapat lebih tinggi 100 kali dibandingkan atmosfer. Asam dilepaskan oleh tanah ataupun batu, sehingga meningkatkan daya larut air hujan.
2. Dalam jangka panjang, air ini mampu mengikis permukaan batu gamping di bawah tutupan tanah, dan memperluas retakan-retakan hingga terbentuk gua dan tebing. Hal ini akan menghiasi dinding gua dengan stalaktit, stalagmit dan hiasan-hiasan lain yang disebut speleothem, sebagian CO2 akan terlepas dari air, menjenuhi udara, dan mengendapkan kalsit.
3. Tanah dan vegetasi penutup sangat krusial dalam pembangunan karst; menyingkap tanah merupakan gangguan utama proses di dalam karst.
(Vermeulen dan Whitten, 1999 dlm Setyawan, 2007).
Karakteristik Ekosistem Gua
Morfologi daerah gua antara lain sebagai berikut,
· Daerahnya berupa cekungan-cekungan
· Terdapat bukit-bukit kecil
· Sungai-sungai yang nampak dipermukaan hilang dan terputus ke dalam tanah.
· Adanya sungai-sungai di bawah permukaan tanah
· Adanya endapan sedimen lempung berwama merah hasil dari pelapukan batu gamping.
· Permukaan yang terbuka nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing.
(http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid188&fname=#gua)

Zonasi Kehidupan Gua berdasarkan Adaptasi
Dalam klasifikasi klasik, organisme gua dibedakan berdasarkan tingkat adaptasinya terhadap lingkungan gua, yaitu:
1. Trogloxene. Troglexene berasal dari kata Troglos yang artinya gua dan xenos yang berati tamu. Berdasarkan asal katanya dapat kita ketahui bahwa Trogloxene adalah organisme yang hidup di dalam gua namun tidak pernah menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di dalam gua. Organisme ini hanya menggunakan gua sebagai habitatnya hanya pada siklus tertentu dalam hidupnya, seperti hibernasi, masa bereproduksi seperti bertelur. Organisme tipe ini tidak memerlukan adaptasi khusus terhadap lingkungan gua yang mereka tempati. Kelelawar merupakan salah satu contoh hewan trogloxene. Contoh lain dari organism tipe ini, yaitu beruang, sigung, dan rakun (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
2. Troglophile. Troglophile berasal dari kata troglos yang berarti gua dan phileo yang berarti cinta. Oleh karena itu, Troglophile adalah suatu organisme yang menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di dalam gua, namun individu yang lain dari jenis yang sama juga hidup di luar gua, seperti salamander, cacing tanah, kumbang dan crustacean (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
3. Troglobite. Troglobite berasal dari kata troglos yang berati gua dan bios yang berarti hidup. Troglobite adalah organisme gua sejati dan hidup secara permanen di zona gelap total dan hanya ditemukan di dalam gua. Organisme ini memiliki bentuk adaptasi fisiologis terhadap habitatnya. Bentuk adaptasi ini seperti tereduksinya indera penglihatan, tubuh tidak berpigmen, waktu reproduksinya tertentu, mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang (Jangkrik gua mempunyai antena 20-21 mm), mempunyai alat indera (alat penggetar) yang sudah berkembang, serta metabolismenya lamabat karena kurangnya suplai makanan. Selain itu juga, organism ini dapat beradaptasi dengan lingkungan kelembaban yang tinggi. Contoh: ikan Amblyopsis spelaeus, Puntius sp, Bostrychus sp; udang karang (cave crayfish); kaki seribu (millipedes); dan juga salamanders serta serangga
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm)
Berdasarkan ketersediaan cahaya matahari, maka dibagi kedalam empat zonasi, yaitu:
1. Zona mulut atau zona terang (entrance zone). Pada zona ini menerima cahaya matahari langsung dan iklim gua sangat terpengaruh oleh faktor luar gua. Temperatur dan kelembaban berfluktuasi tergantung kondisi luar gua. Kondisi iklim mikro di mulut gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi di luar gua Mulut gua mempunyai komposisi fauna yang mirip dengan komposisi fauna di luar gua seperti rakun, beruang, salamander, burung hantu, serta siput. Selain itu, ada zona ini juga ditemukan tanaman, seperti lumut, pakis dan tanaman paku (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
2. Zona senja atau zona remang-remang (twilight zone) adalah zona dengan cahaya matahari tidak langsung, berupa pantulan cahaya dari zona mulut. Di zona peralihan ini kondisi lingkungan masih dipengaruhi oleh luar gua, yaitu masih ditemukannya aliran udara. Temperatur dan kelembaban juga masih dipengaruhi oleh lingkungan luar gua. Komposisi fauna pada zona ini mulai berbeda baik dari segi jumlah jenis maupun individu. Kemelimpahan jenis dan individu lebih sedikit dibandingkan di daerah mulut gua. Pada zona ini akan ditemukan organisme dari jenis trogloxene, seperti kelelawar, laba-laba, ngengat, kaki seribu, dan jamur. Hewan pada zona ini bersifat dapat masuk dan keluar dari gua selama siklus hidupnya
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
3. Zona gelap (dark zone) adalah zona dimana tidak ada cahaya sama sekali. Daerah ini merupakan daerah yang gelap total sepanjang masa, kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil sekali. Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan telah teradaptasi pada kondisi gelap total. Organisme gua sejati hidup di zona ini, seperti fauna yang berasal dari golongan Troglobite. Fauna yang ditemukan biasanya mempunyai jumlah individu yang kecil namun mempunyai jumlah jenis yang besar
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
4. Zona yang terakhir adalah zona gelap total dimana sama sekali tidak terdapat aliran udara kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil. Biasanya mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Zona ini biasanya terdapat pada sebuah ruangan yang lorongnya sempit dan berkelok‐kelok (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
Flora Fauna Pada Ekosistem Gua

1. Mikroorganisme dan decomposer pada ekosistem gua, seperti jamur dan bakteri
2. Kelelawar Pemakan Serang, Pemakan Buah, dan Burung Walet
Lebih dari separuh spesies kelelawar pemakan serangga dan 3-4 spesies kelelawar buah, menggunakan gua sebagai tempat tinggal, baik secara permanen atau hanya pada masa tertentu saja. Spesies kelelawar yang bersarang di gua memiliki preferensi berbeda-beda terhadap kondisi gua. Kelelawar buah Eonycteris spelaea ditemukan pada ruangan di dekat mulut gua (Goodwin, 1979). Kelelawar lain, Miniopterus cenderung ditemukan di zona gelap (Marshall, 1971). Beberapa spesies kelelawar, termasuk kelelawar buah dan kelelawar pemakan serangga bersarang di zona antara atau zona transisi. Beberapa jenis kelelawar dan walet memiliki kemampuan echolocate; yakni menghasilkan suara dan memperkirakan echoes yang direfleksikan kembali oleh benda keras, sehingga mereka memiliki gambaran lingkungan sekitarnya. Di dalam gua kemampuan ini digunakan untuk menghindari batu-batuan, sedangkan di luar gua digunakan untuk mendeteksi mangsa. Familia hewan yang berbeda menggunakan sistem echolocate yang berbeda pula, dan beberapa di antaranya dapat mendeteksi hewan berukuran 1 mm. Oleh karena itu kelelawar dapat dengan mudah menangkap mangsanya, namun beberapa jenis serangga dapat pula mendeteksi echolocate, sehingga dapat menghindar atau mengeluarkan bunyi-bunyian yang membingungkan (Fenton dan Fullard 1981; Fenton 1983).
3. Arthropoda. Arthropoda merupakan instrumen ekonomi penting karena dapat mengontrol hama dan penyakit tanaman. Taksa ini juga penting sebagai agen penyerbuk bunga dan dekomposisi seresah untuk menyuplai hara. Arthropoda (serangga, laba-laba, udang, centipede, millipede, dan lainnya) juga menjadi dasar rantai makanan, sehingga menjadi sangat penting karena menyusun bagian dasar rantai makanan dan menjaga keseimbangan lingkungan serta memberi makan hewan lain seperti ikan, reptil, burung, dan mamalia. Kebanyakan arthropoda tidak sepenuhnya tinggal di kawasan karst, namun kerusakan lingkungan di sekitarnya seringkali menjadikan kawasan karst sebagai tempat pengungsiannya yang terakhir (Vermeulen dan Whitten, 1999). Beberapa di antaranya memiliki alat-alat tambahan yang sangat panjang sebagai bentuk adaptasi fisiologisnya terhadap lingkungan, misalnya kaki centipede dan antena jengkerik.
4. Molusca dan Cacing, organism ini berperan sebagai konsumen tingkat satu yang akan membawa makanan jauh ke dalam gua.
5. Ikan, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Hidup jauh di dalam gua yang gelap. Terdapat adaptasi fisiologis, yaitu tereduksinya organ penglihatan. Ikan pada ekosistem gua menempati posisi predator pada rantai makanan.
6. Salamander, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Salamander pada sisi kiri merupakan salamander yang berhabitat pada daerah senja atau remang-remang pada gua, sedangkan salamander pada sisi kanan merupakan salamander yang bermukim di zona gelap.
7. Ular
Rantai Makanan Pada Ekosistem Gua
Kondisi gelap total tidak memungkinkan produsen utama seperti di lingkungan luar gua dapat hidup. Hal ini menyebabkan sumber energi dalam gua merupakan sumber energi yang allochtonous dan sangat bergantung pada produktivitas mikroorganisme yang ada dalam gua maupun sumber‐sumber lain yang berasal dari luar gua.
Kelangkaan makanan menyebabkan beberapa hewan dapat menahan lapar untuk jangka waktu lama, hingga musim hujan ketika makanan masuk gua, serta dapat menyimpan sejumlah besar lemak (Howarth, 1983 dlm Rahmadi, 2007).
Sumber energi gua masuk ke dalam lingkungan gua melalui beberapa cara, menurut Culver (1986) ada 5 sumber pakan yang penting untuk habitat terestrial di dalam gua di daerah empat musim yaitu guano kelelawar, telur dan guano jangkrik gua, mikroorganisme, kotoran mamalia dan bangkai hewan dan terakhir adalah serasah tanaman yang terbawa banjir. Sumber pakan yang penting berasal dari akar‐akar yang menerobos melalui celah rekahan dan menggantung di langit‐langit gua.
Berdasarkan kemelimpahan dan jenis sumber pakan dibedakan 5 tipe gua, yaitu
1. Oligotrophic yaitu gua yang mempunyai jumlah ketersediaan bahan organik yang rendah yang berasal dari hewan atau tumbuhan.
2. Eutrophic adalah gua yang mempunyai ketersediaan bahan organik yang sangat tinggi, umumnya berasal dari hewan, khususnya guano kelelawar.
3. Distrophic adalah gua yang ketersediaan bahan organik berasal dari tumbuhan yang terbawa banjir.
4. Mesotrophic adalah gua yang berada pada tingkat menengah antara tiga tipe tersebut dan dicirikan dengan ketersediaan bahan organic dari hewan dan tumbuhan dalam jumlah yang sedang.
5. Poecilotrophic adalah gua yang merupakan pemanjangan bagian gua dengan suplai energi yang berbeda dengan rentang bagian oligotrophic sampai eutrophic.
(Gnaspini dan Trajano, 2000 dlm Rahmadi, 2007).
Energi di dalam gua berasal dari deposit bahan organik, seperti guano di bawah tempat bertengger kelelawar dan burung walet; sisa-sisa akar tumbuhan yang masuk melalui celah di langit-langit gua, serta seresah tumbuhan dan hewan-hewan kecil yang terbawa masuk oleh air hujan. Di kawasan tropis, akar pepohonan merupakan sumber bahan organik yang penting di gua; banyak pohon, seperti Ficus, dapat bertahan lingkungan karst yang tandus, dengan menjalarkan akarnya jauh ke dalam batu gamping, sering hingga di bawah permukaan air tanah. Organisme tertentu, seperti fungi, protozoa, dan bakteri menguraikan deposit ini sebagai nutrien-nutrien yang akan digunakan sebagai sumber energi bagi organisme yang berada di dalam gua. Selanjutnya, perpindahan energi ini dilakukan oleh konsumen primer gua, yaitu berupa golongan nematode, kecoa, dan kumbang atau insekta lainnya. Konsumen primer ini kemudian akan dimakan oleh bangsa arthropoda yang lebih besar, seperti jangkerik, centipede, laba-laba, dan juga ikan atau kepiting gua. Pada konsumen teratas sering pula ditemui reptile, seperti ular. Rantai makanan ini terus bergulir, dimana konsumen teratas akan mati dan diuraikan kembali oleh mikroorganisme yang berada di dalam gua mejadi nutrient-nutrien sederhana sebagai sumber energi kehidupan ekosistem gua (Vermeulen dan Whitten, 1999; Whitten et al., 2000 dlm Setyawan, 2007).
Fungsi Ekosistem Gua

Fungsi Ekonomi
Gua yang umumnya dijumpai dikawasan karst sudah lama dijadikan manusia sebagai hunian. Selain sebagai hunian, kawasan karst juga tempat untuk pertanian/peternakan, perkebunan, kehutanan, penambangan batu gamping, penambangan guano (kotoran kelelawar), penyediaan air bersih, air irigasi dan perikanan, serta kepariwisataan.
Salah satu pemanfaatan yang merugikan adalah penambangan batu gamping. Dengan menggunakan bahan peledak akan menganggu hewan didalamnya (kelelawar, burung walet).
Pemanfaatan yang baik untuk kelestarian kawasan karst adalah pariwisata yang selalu berusaha untuk mempertahankan keaslian dan keunikan kawasan karst tersebut.
(Rahmadi, 2007)

Fungsi Sosial
Nilai sosial-budaya kawasan karst selain menjadi tempat tinggal juga mempunyai nilai spiritual/religius, estitika, rekreasional dan pendidikan. Banyak tempat di kawasan karst yang digunakan untuk kegiatan spiritual/religius. Banyak aspek hubungan antara manusia dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual khususnya dengan keyakinan masyarakat dengan fenomena alam di sekitarnya seperti halnya gua. Hubungan antara manusia dan alam disekitarnya pada dasarnya akan memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana melestarikan alam dan dekat dengan Sang Penciptanya (Rahmadi 2007).

Fungsi Ilmu Pengetahuan
Kawasan karst dapat menjadi obyek kajian yang menarik bagi berbagai disiplin ilmu antara lain: geologi, geomorfologi, hidrologi, biologi, arkeologi dan karstologi. Masing-masing disiplin ilmu tersebut mempunyai ketertarikan terhadap kawasan karst karena kandungan fenomenanya sangat berbeda dengan kawasan lain di permukaan bumi ini. Fenomena abiotik, biotik di atas permukaan dan di bawah permukaan kawasan karst masih belum banyak yang terungkap. Kawasan karst masih mengandung berbagai tantangan ilmiah dari berbagai sudut ilmu pengetahuan. Masih banyak hal yang manusia belum ketahui di dalam perut bumi dengan kegelapan abadinya (Rahmadi, 2007).
Contoh Ekosistem Gua di Indonesia
· Pegunungan Sewu, yang membentang dari Kabupaten Bantul di barat hingga Kabupaten Tulungagung di timur.
· Pegunungan Kapur Utara, mencakup daerah Kudus, Pati, Grobogan, Blora dan Rembang Jawa Tengah)
· Semenanjung Sangkulirang - Tanjung Mangkaliat (Kalimantan Timur), seluas 293.747,84 hektar
· Bukit Barisan, mencakup Baturaja (Kabupaten Ogan Kombering Ulu)
(http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:gua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar