Jumat, 25 September 2009

Formalin

BAB II
ISI

2.1 Pemaparan Data

2.1.1 Sifat Umum Formalin
Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi (10-40)% formaldehida (Jurdawanto, 2006). Nama lain formalin yang biasanya digunakan dalam perdagangan, yaitu formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene, methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene glycol, paraforin, polyoxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene, dan trioxane (Anonim, 2005).
Formalin merupakan formaldehid yang dilarutkan dalam air dan mengalami polimerisasi, dengan monomer H2CO. Umumnya polimerisasi ini menggunakan metanol untuk membatasi reaksi yang terjadi (Anonim, 2006).
Formaldehid yang terkandung dalam formalin bersifat racun, hal ini disebabkan adanya gugus CO atau aldehid. Gugus ini bereaksi dengan amina yang terdapat pada protein dan menghasilkan metenamin atau heksametilentetramin (Nurachman, 2005).
Sifat formaldehid dalam formalin tidak sereaktif dalam bentuk murninya, tapi zat ini tetap bersifat pereduksi yang kuat. Secara umumnya, zat ini dapat meracuni tubuh baik menyusup melalui pernapasan, percernaan, maupun kulit (Nurachman, 2005).
Formalin dapat meracuni tubuh atau bahkan mematikan bagi manusia dengan kadar 17 mg per meter kubik per 30 menit melalui pernapasan dan 108 mg per kilogram berat badan melalui mulut (Nurachman, 2005).



2.1.2 Kegunaan Formalin
Formalin dalam kehidupan sehari-hari dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan. Sebagai disinfektan, formalin dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang, dan pakaian (Anonim, 2006).
Dalam bidang medis, formaldehida digunakan untuk mengeringkan kulit, misalnya mengangkat kutil. Larutan dalam formaldehida sering dipakai dalam membalsem untuk mematikan bakteri serta untuk mengawetkan bangkai (Anonim, 2006).
Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau melamin, formaldehida akan menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya dipakai untuk kayu lapis/ tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busanya sebagai insulasi. Produksi resin formaldehida menghabiskan lebih dari setengahnya dari produksi formaldehida (Anonim, 2006).
Untuk mensintesa bahan-bahan kimia, formaldehida digunakan untuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang dipakai untuk membuat cat dan bahan peledak (Anonim, 2006).
Kegunaan lain dari formalin, yaitu
1. Pembasmi lalat dan serangga penggangu,
2. Bahan pembuatan sutra sintesis, zat pewarna, cermin, kaca,
3. Pengeras lapisan gelatin dan kertas dalam dunia fotografi,
4. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea,
5. Pencegah korosi untuk sumur minyak,
6. Dalam konsentrasi yang kecil (kurang dari 1%), formalin digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih barang rumah tangga, cairan pencuci piring, perawatan sepatu, shampoo mobil, lilin, dan pembersih karpet.
7. Industri penyamakan kulit dan industri pengolahan berbagai protein nabati agar berubah menjadi serat. Pada industri ini, formaldehida yang telah bereaksi hilang sifat racunnya.
(Anonim, 2006).

2.1.3 Penggunaan Formalin yang Salah
Salah satu bentuk penggunaan formalin yang salah, yaitu digunakannya formalin sebagai bahan pengawet pada makanan. Beberapa contoh makanan yang diduga menggunakan pengawet formalin, yaitu ikan segar, ikan asin, mi basah, tahu, dan bakso. Adapun ciri-ciri bahan makanan tersebut adalah
1. Mi basah yang menggunakan formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar (25°C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10°C),
- Bau agak menyengat,
- Tidak lengket dan mi lebih mengkilap dibandingkan mi normal.
2. Tahu yang menggunakan formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25°C) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10°C),
- Tahu terlampau keras namun tidak padat,
- Bau agak menyengat, bau formalin.
3. Bakso yang menggunakan bakso, dengan ciri
- Tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar (25°C),
- Teksturnya sangat kenyal.
4. Ikan segar yang mengandung formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25°C),
- Warna insang merah tua dan tidak cemerlang, bukan merah segar dan warna daging ikan putih bersih.
5. Ikan asin yang mengandung formalin, dengan ciri
- Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar (25°C),
- Bersih cerah,
- Tidak berbau khas ikan asin.
(Anonim, 2006).

2.1.4 Dampak Formalin Bagi Kesehatan
a. Bahaya jangka pendek
- Bila terhirup, maka dampak pada kesehatan, yaitu iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernapasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk.
- Bila terkena kulit, maka dampak pada kesehatan, yaitu menimbulkan perubahan warna kulit, yakni menjadi memerah, mengeras, mati rasa, dan ada rasa terbakar.
- Bila terkena mata, maka dampak pada kesehatan, yaitu menimbulkan iritasi mata sehingga mata memerah, rasa sakit, gatal-gatal, penglihatan kabur, mengeluarkan air mata. Bila bahan berkonsentrasi tinggi, maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran air mata yang hebat dan terjadi kerusakan pada lensa mata.
- Bila tertelan, maka dampak pada kesehatan, yaitu mulut, kerongkongan, dan perut akan terasa terbakar, sakit menelan, mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi, kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu, dapat juga terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal.
(Departemen Kesehatan, 2006).
b. Bahaya jangka panjang
- Bila terhirup, maka dampak kesehatan, yaitu menimbulkan sakit kepala, gangguan pernapasan, radang selaput lendir, luka pada ginjal, dan sensitasi pada paru-paru efek neuropsikologis meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu, kehilangan kosentrasi dan daya ingat berkurang, gangguan kemandulan pada perempuan. Selain itu, kanker pada hidung, rongga hidung, tenggorokan, paru-paru dan otak (Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila terkena kulit, maka dampak kesehatan, yaitu kulit terasa panas, mati rasa serta gatal-gatal, memerah, kerusakan pada jaringan, pengerasan kulit, dan terjadi radang kulit yang menimbulkan gelembung (Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila terkena mata, maka dampak kesehatan, yaitu terjadinya radang selaput mata(Departemen Kesehatan, 2006).
- Bila tertelan, maka dampak kesehatan, yaitu menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada kerongkongan, penurunan suhu badan, serta rasa gatal pada dada (Departemen Kesehatan, 2006). Selain itu, bila makanan yang mengandung formalin yang masih terdapat formaldehid bebas tertelan, maka dapat merusak informasi genetik, sehingga dapat menimbulkan penyakit genetik yang baru, cacat gen, selain itu juga dapat mematikan sisi aktif protein, maka molekul-molekul tersebut akan kehilangan fungsi dalam metabolisme, akibatnya kegiatan sel akan berhenti (Nurachman, 2005).

2.1.5 Badan-Badan yang Bertanggung Jawab Atas Pendistribusian Formalin
a. Departemen Perindustrian
b. Departemen Perdagangan
c. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
d. Departemen Kesehatan
e. Badan Pengawas Obat dan Makanan
f. Departemen Agama
(Anonim, 2006).






2.1.6 Undang-Undang yang Terkait dengan Kasus Penyalahgunaan Formalin
Undang-undang yang berkaitan dalam penyalahgunaan formalin pada kasus ini, yaitu
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 mengenai pangan termasuk penggunaan bahan yang dilarang dipakai sebagai bahan tambahan pangan, dan pelakunya akan dihukum dengan hukuman penjara lima tahun atau denda 600 juta rupiah (Anonim, 2006).
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, dimana konsumen berhak mendapatkan dan bisa mengadakan keberatan atas produk yang dibelinya, kerugian yang diterima konsumen dapat diganti dengan hukuman penjara bagi pelaku selama 2 tahun penjara atau 5 milyar rupiah (Anonim, 2006).
3. UU RI No. 9 Tahun 1960 mengenai pokok-pokok kesehatan, pada pasal 11 ayat 2 dijelaskan bahwa pemerintah menguasai, mengatur, dan mengawasi persediaan, pembuatan, penyimpanan, peredaran, dan pemakaian obat (Termasuk obat bius dan minuman keras, bahan obat, dan alat kesehatan lainnya (Santoso, 2004).
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/ Menkes/ PER/ X/ 1999, mengenai pelarangan digunakannya formalin dan metahnyl yellow sebagai bahan tambahan pangan (BTP) dalam makanan (Anonim, 2006).

2.2 Landasan Teori dan Analisis

2.2.1 Logika
Logika adalah suatu studi tentang metode dan prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dan tidak tepat (Meliono.dkk, 2006). Logika yang akan digunakan dalam analisis kasus ini adalah logika ilmiah. Tapi pertama-tama kita harus mengetahui definisi dari logika ilmiah tersebut. Bersumber pada modul MPKT 2006, Irmayanti Meliono, dkk menjelaskan bahwa logika ilmiah adalah logika yang akan diperoleh dengan mempelajari secara formal dalam berbagai jenjang pendidikan mengenai metode dan prinsip serta ketepatan berfikir sesuai dengan hukum penalaran.
Berpijak pada landasan teori di atas, kasus penyalahgunaan formalin dalam makanan khususnya pada permasalahan quality control penggunaan formalin di tingkat pedagang memiliki analisa sebagai berikut:
Seperti pemaparan data sebelumnya, formalin memiliki zat baku pembentuknya, yaitu zat kimia yang bernama forlmaldehida. Berdasarkan sifat asli dari zat pembentuknya, yaitu formalidehida yang bersifat racun, karsinogenik, serta membahayakan bagi kesehatan, maka sifat-sifat ini masih terkandung dalam larutan formalidehida tersebut, atau yang kita kenal dengan nama pasar formalin. Selain itu, formalin pada penggunaan seharusnya adalah untuk bahan industri yang bersifat desinfektan atau untuk membunuh bakteri-bakteri merugikan selama pengolahan industri, selain industri makanan.
Kedua, dalam penggunaan formalin untuk barang dagangan mereka, para pedagang tidak pernah memperhitungkan seberapa banyak takaran formalin yang ia berikan untuk mengawetkan barang dagangannya tersebut. Mereka hanya menggunakan “insting” mereka untuk mengukur sebera banyak formalin yang diberikan.
Dari tindakan seperti di atas, secara logika kita dapatkan bahwa makanan dengan pengawet formalin sangatlah berbahaya, karena formalin tersebut akan mengadung zat yang dapat merusak nilai gizi dari makanan yang kita konsumsi, selain itu, berdasarkan sifatnya penggunaan formalin dalam makanan akan berdampak pada rusaknya struktur makanan sehingga enzim yang terdapat dalam tubuh tidak mampu mengenali spesifikasi makanan yang kita konsumsi, maka hal ini akan membuat makanan tersebut sulit dicerna oleh tubuh. Hal berbahaya lain yang dapat timbul akibat penggunaan formalin dalam makanan adalah jika sesungguhnya formalin bersifat desinfektan, maka formaldehida aktif yang tersisa dalam makanan akan mematikan bakteri-bakteri “baik” yang terdapat dalam saluran pencernaan kita, dengan begitu sistem pencernaan tidak dapat bekerja secara normal dan residu-residu yang dihasilkan dapat menimbulkan kanker yang berbahaya dalam saluran pencernaan kita.
Dari uraian diatas secara logika dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan formalin sebagai pengawet makanan adalah berbahaya bagi kesehatan kita semua, belum lagi bila hal tersebut dikaitkan dengan tidak adanya quality control dalam penggunaanya oleh para pedagang, maka semakin besar bahaya yang kita temui, hal ini karena kita tidak mengetahui seberapa kadar formalin yang digunakan oleh para pedagang tersebut, jika takaran yang mereka berikan tersebut melebihi ambang batas kadar formalin yang ditolerir oleh tubuh, maka akibat kurangnya quality control ini bisa mengakibatkan formalin tersebut dapat terakumulasi dalam tubuh dengan jumlah yang semakin meningkat, dan hal paling berbahaya yang dapat timbul bagi tubuh adalah bisa menimbulkan kematian.

2.2.2 Sumber Nilai Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini, sumber nilai akhlak dan budi pekerti yang akan dibahas adalah agama dan tradisi. Pada sub bab kali ini juga akan dianalisis bagaimana agama dan tradisi membentuk nilai akhlak dan budi pekerti para pihak yang berhubungan dengan penyalahgunaan formalin dalam kasus quality control penggunaan formalin di kalangan para pedagang.
Pertama, agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong, penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya. Dalam keadaan demikian secara langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya), dipengaruhi, digerakkan, dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakat sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci (Meliono.dkk, 2006).
Berdasarkan sudut pandang agama, formalin mungkin akan sedikit sulit untuk dibahas, hal ini karena efek negatif yang ditimbulkan oleh formalin tidak langsung terlihat, tetapi akan timbul jika zat formalin ini telah terakumulasi dalam tubuh. Karena sifatnya yang demikian maka, formalin berserta tindakan pengawetan ini di kelompokkan pada perbuatan atau benda yang mubah hukumnya. Penentuan hukum ini dikutip dari pernyataan kaidah fikih oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya yang berjudul Asy-Syakhshiyah. Ia mengatakan bahwa “Setiap kasus dari suatu perbuatan/ benda yang mubah, jika berbahaya atau membawa pada bahaya, maka kasus itu saja yang haram, sedang hukum asalnya tetap mubah.”
Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa para pedagang yang menggunakan formalin untuk mengawetkan barang dagangannya sangat tidak mencerminkan perilaku orang yang beragama. Dalam agama jelas bahwa semua orang hendaklah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan, tetapi perilaku para pedagang tersebut tidak mencerminkan sifat terpuji sebagai pencerminan nilai-nilai agung agama.
Selain itu, akhlak para pedagang tersebut tidak mencerminkan kesalehan pribadi dan sosial, karena dengan menggunakan formalin dalam barang dagangannya, maka ia akan merusak orang lain, berupa merusak kesehatan orang yang memakannya, serta dia merusak dirinya sendiri, karena dengan tindakan tersebut dia akan berbuat suatu tindakan dosa yang akan merugikan dirinya sendiri kelak. Tindakannya akan merugikan diri sendiri karena dalam perintah agama di beritakan bahwa semua perilaku kita di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Kedua, secara tradisi, yaitu sebagai suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama, dilaksanakan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya tersebut akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Manusia dalam berbuat akan melihat realitas lingkungan sekitarnya sebagai upaya dari sebuah adaptasi walaupun sebenarnya dia telah mempunyai motivasi berperilaku yang sesuai dengan tradisi yang ada pada dirinya (Meliono.dkk, 2006).
Pembentukan akhlak para pedagang ini dimulai dari tradisi para pedagang sebelumnya, seperti pada fakta yang terjadi, mayoritas para pedagang memberi formalin pada tahu, ikan asin, ayam potong, dan mie basah disebabkan karena pemberitahuan para pedagang sebelumnya, dan terus begitu, sehingga perilaku ini telah dibentuk oleh tradisi para pedagang sebelumnya.

2.2.3 Nilai Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini akan dikaji penyalahgunaan formalin berdasarkan nilai akhlak dan budi pekerti. Nilai akhlak dan budi pekerti yang akan digunakan adalah nilai keadilan dan nilai tanggung jawab. Berdasarkan asal katanya keadilan sebagai keadaan seimbang dan tidak berat sebelah. Sikap seimbang disini adalah seimbang antara hak dan kewajiban. Berdasarkan azas kualifikasinya, yaitu keadilan yang didasarkan pada kenyataan bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya (Meliono.dkk, 2006). Melihat dari azas ini, para pedagang tidaklah bersikap adil sebagai peranannya yang menyalurkan atau mungkin sekaligus membuat bahan makanan untuk masyarakat umum. Seharusnya mereka dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dengan baik tanpa harus merugikan orang lain. Selain itu, Penggunaan formalin menunjukkan bahwa para pedagang umumnya hanya menginginkan untuk mendapatkan haknya saja tanpa memikirkan kewajibannya, serta tidak mengindahkan hak orang lain. Dalam suatu perdagangan, sudah sepatutnyalah terjadi transaksi yang adil dan saling menguntungkan, tapi dalam kasus ini keadilan tersebut belumlah ada.
Hal lain yang sangat erat dengan keadilan adalah nilai kejujuran, dengan menggunakan formalin sebagai pengawet barang dagangannya, maka pedagang tersebut sudah bertindak tidak jujur kepada masyarakat. Jika nilai kejujuran ini belum dapat ditegakkan, maka dapat dikatakan sama dengan belum melakukan tindakan yang adil.
Nilai tanggung jawab memiliki beberapa pengertian, salah satunya adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya, berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
Nilai tanggung jawab dapat dikelompokkan seperti, nilai tanggung jawab terhadap diri sendiri, nilai tanggung jawab terhadap masyarakat, dan nilai tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai tanggung jawab terhadap diri sendiri, yaitu setiap individu bertanggung jawab sebagai pengisi rentang waktu kehidupannya. Artinya ia bertanggung jawab atas kegiatan yang ia lakukan untuk kelangsungan hidupnya. Nilai tanggung jawab ini bisa hilang bila setiap individu dalam masyarakat tidaklah memperhatikan apa yang ia lakukan untuk kelangsungan hidupnya. Dalam kasus penggunaan formalin ini, tidak jarang kita temui sebagian masyarakat yang sudah mengetahui bahaya akan formalin tetap saja memakannya atau menganggap enteng formalin. Tindakan ini akan merugikan kesehatan diri mereka sendiri yang akan berpengaruh pada kelangsungan hidup mereka. Hal ini juga berhubungan dengan nilai tanggung jawab mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan bertindak demikian maka, mereka berarti tidak mengindahkan perintah Tuhan, yaitu untuk menjaga dan berbuat baik kepada diri sendiri.
Nilai tanggung jawab tersebut tidak hanya untuk para konsumen saja, tetapi juga menyangkut kepada nilai tanggung jawab yang harus dimiliki oleh para pedagang. Para pedagang tersebut tidak mengindahkan nilai tanggung jawabnya kepada masyarakat dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai tanggung jawab terhadap masyarakat, disini para pedagang sebagai anggota masyarakat yang saling berinteraksi seharusnya melakukan hak dan kewajibannya dengan seimbang. Dengan menggunakan formalin sebagai pengawet, maka para pedagang tidak melakukan kewajibannya kepada masyarakat untuk berdagang tanpa merugikan orang lain dan tidak melanggar hak orang lain. Selain itu mereka juga seharusnya menyadari nilai tanggung jawabnya kelak terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan bersikap demikian seperti pada kasus, maka mereka tidak mengindahkan perintah Tuhan, yaitu untuk tidak merusak diri sendiri dan tidak merusak diri orang lain.
Nilai tanggung jawab ini juga tidak hanya dimiliki oleh konsumen dan para pedagang, dalam kasus ini pemerintah dalam hal ini badan-badan yang terkait seharusnya memiliki nilai tanggung jawab terhadap masyarakat atau warga, yaitu bertanggung jawab atas segala kelayakan seluruh makanan yang beredar dalam masyarakat. Mengapa penggunaan formalin masih terus berlangsung hingga saat ini? Hal ini salah satunya disebabkan oleh kurangnya dalam pengawasan badan yang terkait seperti BPOM yang seharusnya dapat mengawasi alur pendistribusian makanan yang ada. Setiap peredaran makanan seharusnya dapat diawasi dengan ketat bagaimana pembuatannya dan bahan-bahan apa yang dimasukkan kedalamnya. Dalam menyikapi hal ini sudah selayaknya BPOM mengeluarkan solusi untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Solusi ini mungkin dapat berupa tindakan BPOM untuk melakukan sertifikasi kepada setiap makanan yang akan diproduksi dan boleh beredar di masyarakat, hal ini untuk memperkecil penggunaan formalin sebagai pengawet makanan.

2.2.4 Penerapan dan Permasalahan Akhlak dan Budi Pekerti
Pada sub bab ini, yaitu penerapan dan permasalahan akhlak dan budi pekerti hanya akan dibahas mengenai kehidupan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan kehidupan sosial aspek yang berkaitan disini, yaitu kepedulian sosial dari setiap pihak yang berperan dalam penggunaan formalin dan juga bagaimana akhlak dan budi pekerti yang tertanam dalam kehidupan sosial menjadi suatu filter bagi pihak tersebut dalam mengambil suatu tindakan.
Pada fakta yang terjadi, terlihat bahwa para pedagang yang menyalahgunakan formalin tidak memiliki kepedulian terhadap dampak dari perbuataannya tersebut. Ini dapat disimpulkan dari sikap mereka yang tetap menggunakan formalin sebagai pengawet, walaupun terkadang mayoritas dari para pedagang tersebut mengetahui bahaya yang akan menyerang masyarakat yang mengonsumsi makanan yang mereka jual. Dalam kasus ini sifat kepedulian dari para pedagang boleh dikatakan kecil sekali, karena sebagai anggota masyarakat yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur, seharusnya mereka tidak mementingkan kepentingan mereka sendiri dan membahayakan orang lain.
Selain hal di atas, jika ditilik ulang, manusia sebagai anggota masyarakat yang memiliki pedoman yang kuat dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak akan gamang menghadapi berbagai cobaan, ia akan cepat mencari solusi atau jalan keluar yang mulus (Meliono.dkk, 2006). Berdasarkan pernyataan literatur tersebut, seharusnya hal ini juga dapat dilakukan oleh para pedagang, seharusnya mereka dapat mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah pengawet formalin ini, yaitu seperti dengan menggunakan pengawet yang tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
Selain kepedulian dan peran akhlak dan budi pekerti sebagai filter dalam bertindak, maka penyalur makanan yang menggunakan formalin dan pihak yang mengawasi peredaran makanan untuk masyarakat selayaknya memiliki kesadaran akan bahaya dari formalin yang dapat merugikan setiap individu di masyarakat.
Berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada aspek ini, hendaklah perkembangan ilmu pengetahuan mengindahkan nilai-nilai luhur akhlak dan budi pekerti secara komprehensif, sehingga nilai negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dapat dieliminir (Meliono.dkk, 2006).
Tapi dalam kasus pemakaian formalin tidak pada tempatnya ini, terlihat dengan jelas bahwa hasil ilmu pengetahuan seperti formalin disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi. Hal ini bertentangan dengan nilai akhlak dan budi pekerti, seperti ilmu pengetahuan ditujukan untuk kebaikan. Dalam kasus ini, para pedagang tidak menerapkan nilai tersebut, karena dalam perkembangan ilmu pengetahuan seharusnya menguntungkan khalayak ramai dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Penyalahgunaan yang salah dari formalin ini mungkin juga dapat disebabkan oleh kurang kritisnya sebagian para pedagang, sehingga mereka tidak mengetahui dampak negatif formalin sebelum mereka menggunakannya sebagai pengawet makanan.

2.2.5 Negara dan Hukum
Menurut cara pandang bangsa Indonesia, hukum adalah alat untuk menyelenggarakan ketertiban(kehidupan negara), sekaligus juga untuk mencari dan mewujudkan kemakmuran (kesejahteraan sosial) yang bersifat demokratis, adil, dan berperikemanusian (Meliono.dkk, 2006). Oleh karena itu, terselenggaranya ketertiban dalam suatu negara dapat mencerminkan adanya hukum dalam negara tersebut ( Padmo Wahyono, Pembangunan Hukum Indonesia, hal.15 dalam Meliono, dkk., 2006).
Dalam kasus penyalahgunaan formalin ini, kita dapat melihat belum adanya ketertiban dalam pendistribusian formalin, sehingga mengakibatkan penyalahgunaan formalin banyak ditemukan dimana-mana. Ini menunjukan bahwa kinerja hukum dalam negara kita belum berjalan dengan baik, selain hal di atas ditemukan pula fakta bahwa para pelanggar atau pihak yang menyalahgunakan formalin tidak diberikan sanksi atas tindakannya tersebut.
Saat kita membicarakan hukum maka akan muncul suatu kata yaitu keadilan. Sebenarnya hukum tidak identik dengan keadilan, tetapi bertujuan untuk mewujudkan keadilan demi kepentingan rakyat banyak. Keadilan menuntut adanya perlakuan dan pelaksanaan hukum secara objektif. Dalam hal ini kemandirian hukum untuk mewujudkan keadilan harus dipegang teguh. Namun gejala-gejala yang menunjukkan bahwa sanksi hukum tidak dilaksanakan secara konsekuen, menimbulkan kesan pelaksaan hukum hanya sebagai formalitas belaka (Meliono.dkk, 2006). Hal inilah yang terjadi dalam kasus penyalahgunaan formalin. Sebenarnya hukum yang mengatur tentang pendistribusian dan pemakaian formalin telah ada, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, dan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlundungan konsumen, serta UU No. 472/1996 tentang pengamanan Bahan Berbahaya bagi Kesehatan, dan UU No. 254/2000 tentang Tata Niaga dan Peredaran Barang Berbahaya.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, formalin termasuk dalam kategori bahan berbahaya yang penggunaannya harus diawasi secara ketat. Mulai dari pendistribusian, seharusnya pengawasan terhadap jual beli formalin harus ketat mengingat zat kimia ini cukup berbahaya. Kemudian dari segi pengendalian bahan pangan, seharusnya penggunaan formalin ditiadakan dalam pengawetan makanan. Ditemukannya formalin di berbagai jenis makanan menunjukkan tidak berfungsinya landasan hukum perdagangan. Ini diakui para penjual bahan-bahan kimia di sejumlah daerah di Indonesia. Mereka tak dapat melarang atau membatasi penjualan formalin karena barang ini bisa dibeli secara bebas tanpa pengecualian. Penyimpangan-penyimpangan ini menandakan lemahnya regulasi dan pengawasan karena formalin masih saja dijual bebas.
Selain itu, pada kasus ini, penegakan hukum di Indonesia masih lemah maka para pedagang dan distributor yang menggunakan dan menyalurkan formalin tidak merasa bersalah dan takut apabila menggunakan formalin. Hal ini tentu akan sangat tidak adil apabila kita melihat konsumen yang bisa saja menderita berbagai penyakit karena mengkonsumsi produk-produk mereka.
Dalam kasus ini dan bahkan mungkin kasus yang lain para penegak hukum baru bertindak jika hal tersebut telah tersebar luas dalam masyarakat bukan sebagai pihak yang berusaha, mencegah adanya pelanggaran undang-undang yang ada.

Pembuatan Tahu dan Pengujian Kadar Protein

Kedelai

Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di Asia Timur. Kedelai putih diperkenalkan ke Nusantara oleh pendatang dari Cina sejak maraknya perdagangan dengan Tiongkok, sementara kedelai hitam sudah dikenal lama orang penduduk setempat. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.

Kedelai dikenal dengan berbagai nama: sojaboom, soja, soja bohne, soybean, kedele, kacang ramang, kacang bulu, kacang gimbol, retak mejong, kaceng bulu, kacang jepun, dekenana, demekun, dele, kadele, kadang jepun, lebui bawak, lawui, sarupapa tiak, dole, kadule, puwe mon, kacang kuning (Aceh) dan gadelei. Berbagai nama ini menunjukkan bahwa kedelai telah lama dikenal di Indonesia. Secara ilmu taksonomi tumbuhan, sistematika tanaman kedelai adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Upafamili : Faboideae

Genus : Glycine, sp

Kedelai merupakan tanaman dikotil semusim dengan karakteristik sedikit bercabang, sistem perakara tunggang, dan batang berkambium. Kedelai dapat berubah menjadi tumbuhan setengah merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya kedelai putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu kritis rata-rata 13 jam. Ia akan segera berbunga apabila pada masa siap berbunga panjang hari kurang dari 13 jam. Ini menjelaskan rendahnya produksi di daerah tropika, karena tanaman terlalu dini berbunga.
Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama. Karena akarnya memiliki bintil pengikat nitrogen bebas, kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi
· Tahu (tofu),
· Bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam),
· Tempe
· Susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa),
· Tepung kedelai,
· Minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel.
· Taosi
· Tauco

Kandungan Nutrisi Pada Kedelai

Kandungan nutrisi pada 100 gram kacang kedelai mentah secara literatur, yaitu sebagi berikut:
Air : 67.5 g Energi : 147 kca Energi : 615 kJ Protein : 12.95 g Total Lemak : 6.8 g Karbohidrat : 11.05 g Serat : 4.2 g Ampas : 1.7 g

Pembuatan Tahu

Secara kimia dapat dikatakan bahwa proses pembuatan tahu adalah pengendapan protein yang terdapat dalam sari kedelai pada titik isoelektrisnya. Protein yang terdapat dalam kacang kedelai adalah legumeilin dan glisinin. Legumeilin termasuk dalam kelas albumin dan glicinin termasuk dalam kelas globulin. Kedua macam protein ini mempunyai sifat yang berbeda kelarutannya dalam air, dimana albumin larut dalam air dan globulin tidak larut dalam air. Oleh karena itu, pada proses pembuatan tahu, yang diendapkan adalah legumeilin nya karena pada umumnya proses pembuatan tahu menggunakan pelarut air.
Untuk mendapatkan protein yang terdapat dalam kedelai, maka terlebih dahulu kedelai tersebut diolah menjadi sari kedelai yang merupakan ekstrak protein dari kedelai. Pembuatan sari kedelai diawali dari pemilihan biji kedelai. Biji kedelai yang digunakan, yaitu kedelai yang mempunyai kualitas yang baik, ini dapat dilihat dari ukuran kacangnya yaitu besar-besar dan warnanya kuning gading. Selanjutnya perendaman kacang kedelai dilakukan selama 8 hingga 12 jam yang bertujuan untuk melunakkan dinding kedelai sehingga pada saat dibersihkan, kulit kedelai akan mudah terlepas. Tahap selanjutnya, yaitu menghilangkan kulit kedelai.
Sesudah kedelai bersih, maka kedelai digiling dengan menggunakan alat penggiling sehingga butiran kedelai yang besar menjadi kecil-kecil dan memeliki luas permukaan yang besar, akibatnya jika ada pelarut maka zat terlarut akan lebih mudah diperoleh. Langkah ini memang sengaja dilakukan agar komponen yang ada dalam kedelai, berupa legumeilin yang memiliki sifat dapat larut dalam air akan terekstraksi atau terlarut.

Pengaruh Pengolahan Kedelai Terhadap Kadar Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga.
Protein merupakan suatu polipeptida dengan berat molekul (BM) yang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 5000 sampai lebih dari satu juta. Karena ukuran molekul protein besar, maka protein sangat mudah mengalami perubahan fisis dan aktivitas biologisnya. Banyak agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah dari protein seperti panas, asam, basa, solven organik, garam, logam berat, radiasi sinar radioaktif.
Struktur protein dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu primer, sekunder, tersier dan kuartener. Susunan linier asam amino dalam protein merupakan struktur primer. Susunan tersebut akan menentukan sifat dasar protein serta sifat bentuk struktur sekunder dan tersiernya. Bila protein banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofobik, maka daya kelarutannya kurang dalam air dibandingkan dengan protein yang banyak mengandung asam amino dengan gugus hidrofil.
Protein yang terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami perubahan-perubahan, antara lain:
1. Dapat terdenaturasi oleh perlakuan pemanasan.
2. Dapat terkoagulasi atau mengendap oleh perlakuan pengasaman.
3. Dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan oleh enzim-enzim proteolitik.
4. Dapat bereaksi dengan gula reduksi, sehingga menyebabkan terjadinya warna coklat.
Denaturasi protein dapat diartikan sebagai suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier dan kuartener molekul protein tersebut tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen. Karena itu denaturasi dapat diartikan sebagai suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul protein.

Denaturasi Protein Karena Panas

Panas dapat digunakan untuk merusak ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar yang terdapat pada protein. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein mengalami denaturasi dan terkoagulasi selama pemanasan/ pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan untuk mencerna protein tersebut.
Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tetapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit.
Secara umum semakin tinggi suhu pelarut, akan mengakibatkan interaksi antara molekul pelarut dan zat terlarut semakin tinggi. Akibatnya komponen yang terlarut akan semakin banyak. Keadaan ini akan menyebabkan sari kedelai yang dihasilkan akan semakin pekat pula. Semakin pekat sari kedelai yang dihasilkan, maka tahu yang dihasilkannya pun akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena tahu dibuat dengan jalan menambahkan zat pengental yang berupa batu tahu atau garam atau asam pada sari kedelai. Oleh karena itu, jika sari kedelai yang dihasilkan semakin banyak, maka ini berarti jumlah protein pada tahu yang dihasilkan akan semakin banyak. Pernyataan ini didukung oleh Sutrisno Kuswara dalam bukunya pengolahan kedele menjadi makanan bermutu mengatakan, bahwa penambahan air pada saat menggiling kedele sebaiknya pada suhu 80 – 100oC agar menghasilkan tahu dengan jumlah protein yang tinggi.
Proses pembuatan tahu yang baik adalah menghasilkan jumlah tahu yang banyak serta memiliki kualitas tahu yang baik. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan kualitas atau mutu dari tahu adalah kadar proteinnya tinggi. Kadar protein dalam 100 gram adalah 7,9 gram. Kadar protein yang ada dalan suatu bahan sangat ditentukan dari proses pembuatannya, dimana salah satu sifat dari protein adalah tidak tahan terhadap panas. Adanya panas yang tinggi akan menyebabkan protein rusak sehingga kadarnya akan menurun.

Metode Analisis Protein

Analisis jumlah protein dilakukan dengan menentukan jumlah nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. N total bahan diukur dengan menggunakan metode mikro-kjedahl. Prinsip dari metode ini adalah oksidasi senyawa organik oleh asam sulfat untuk membentuk CO2 dan H2O serta pelepasan nitrogen dalam bentuk ammonia. Kadar ammonia ini akan sebanding dengan kadar N yang terdapat pada kedelai dan hasil pengolahannya. Dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi teknik ini sulit sekali dilakukan mengingat kandungan senyawaan N lain selain protein dalam bahan juga terikut dalam analisis ini. Jumlah senyawaan N ini biasanya sangat kecil yang meliputi urea, asam nukleat, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin, dan pirimidin. Oleh karena itu penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan dengan cara ini biasa disebut sebagai protein kadar/crude protein. Analisis protein cara kjedahl pada dasarnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi.

Proses Pembuatan Tahu dari Kedelai

1. Memilih kedelai bersih dan kemudian mencucinya,
2. Merendam 200 gram kedelai tersebut ke dalam ± 500 mL air bersih selama 8 jam. Pada perendaman, kedelai akan mengembang; kedelai tersebut dicuci hingga kulitnya terkelupas,
3. Kedelai yang telah direndam dicuci berulang-ulang. Apabila kurang bersih maka tahu yang dihasilkan akan cepat menjadi asam;
4. Menumbuk kedelai tersebut dan menambahkan 200 mL air hangat per 100 gram kedelai, proses ini dilakukan sedikit demi sedikit hingga berbentuk bubur;
5. Bubur kedelai yang terbentuk ditambahkan dengan 400 mL air dan dipanaskan sampai mendidih. Pemanasan dilakukan sebanyak 3 kali sambil ditambahkan ± 100 mL setiap pendidihan. (ditandai dengan adanya gelembung-gelembung kecil);
6. Menyaring bubur kedelai dan mengendapkan airnya (dalam keadaan masih panas) dengan menggunakan batu tahu (Kalsium Sulfat = CaSO4) sebanyak 2 gram.
7. Mencetak endapan dengan kain pembungkus tahu

Penentuan Protein Dengan Metode Kjeldahl

1. Penimbangan sampel (kedelai mentah, susu kedelai, tahu) @ 1 gram dalam labu Kjeldahl;
2. Penambahkan Na2SO4 bebas air, Selenium, dan 10 mL H2SO4 pekat pada masing-masing sampel;
3. Pemanasan dilakukan hingga larutan menjadi bening;
4. Pengenceran larutan yang dihasilkan menjadi 25 mL dengan air bebas NH3;
5. Penambahan 10 mL larutan sampel tersebut ke dalam alat destilasi Kjeldahl dan menambahkan fenolftalein, NaOH 30%, proses dilakukan hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda;
6. Ke dalam Erlenmeyer 100 mL, lakukan penambahan 10 mL larutan H3BO3 5%, serta beberapa tetes indikator BCG-MM;
7. NH3 yang keluar ditangkap dalam larutan H3BO3 5% yang telah diberi indikator MM dan BCG;
8. Proses destilasi larutan dilakukan sampai terjadi perubahan warna;
9. Menitrasi larutan dengan HCl 0.1 N.

Perhitungan kadar protein pada sampel :

% Nitrogen = _______100_______ x V. HCl x N HCl x 14,008
Massa sampel x 1000

% Protein = % Nitrogen x Faktor Nitrogen (5,71 untuk kacang kedelai)

Pembahasan

Proses Pembuatan Tahu

Proses pembuatan tahu pada percobaan ini dilakukan dengan menggunakan metode tradisional. Pada intinya proses pembuatan tahu secara tradisional, yaitu melalui proses penggumpalan susu kedelai. Proses penggumpalan ini akan menurunkan kelarutan dari partikel-partikel susu kedelai, sehingga membentuk agregat-agregat padat yang kita sebut dengan tahu.
Tahap pertama, yaitu perendaman biji kedelai dalam air selama delapan jam. Pada proses perendaman ini, biji kedelai akan mengembang dan melunakka dindingnya, dengan begitu memudahkan kita untuk memisahkan antara biji kedelai dengan kulitnya. Pengembangan biji kedelai ini disebabkan karena adanya penyerapan air oleh biji kedelai secara osmosis. Adanya gradient konsentrasi antara cairan dalam biji kedelai dengan air rendaman, membuat adanya tekanan osmotik yang mendorong air dengan konsentrasi yang tinggi menuju biji kedelai dengan kandungan air yang rendah. Seiring dengan masuknya air ke dalam biji kedelai, akan membuat biji kedelai lebih lunak dan mudah untuk dihancurkan pada tahap berikutnya.
Tahap kedua, yaitu proses pelumatan biji kedelai menjadi bubur kedelai. Proses pelumatan ini menggunakan blender dengan sejumlah air. Penambahan air ini, dimaksudkan agar biji kedelai menjadi lebih lunak dan mudah untuk dihancurkan. Selain itu, proses pelumatan biji kedelai ini dimaksudkan untuk mempermudah dihasilkannya sari kedelai yang akan digunakan pada pembuatan tahu.
Tahap ketiga ialah perebusan bubur kedelai dengan 200 mL air untuk setiap 100 gram biji kedelai sampel. Proses perebusan dilakukan sebanyak tiga kali. Untuk setiap perebusan, bubur kedelai dipanaskan hingga mendidih. Tujuan dari perebusan ini, yaitu untuk melarutkan protein yang terdapat pada bubur kedelai ke dalam air rebusan, yang berupa sari kedelai. Seperti yang diketahui, protein bersifat dapat larut dalam air. Dengan begitu air rebusan akan kaya dengan protein. Seiring dengan perebusan, air akan menguap setelah melewati titik didihnya. Menguapnya air akan meninggalkan protein dengan konsentrasi yang lebih pekat. Setelah proses pendidihan, maka air rebusan ditambahkan kembali dengan jumlah volume yang sama, yaitu 200 mL. Penambahan air rebusan ini bertujuan untuk menghilangkan pengembangan gelembung udara yang terbentuk dikarena pendidihan air. Dengan begitu tidak ada gelembung yang meninggalkan wadah, sehingga protein yang telah terlarut tidak ada yang meninggalkan sistem pemanasan. Penambahan air rebusan ini juga akan membuat semakin banyak protein yang akan larut dalam air. Semakin banyak jumlah penambahan air rebusan, maka akan membuat protein yang terlarut dalam sari kedelai semakin pekat komsentrasinya. Dari hasil perebusan ini, maka akan diperoleh susu kedelai. Susu kedelai yang dihasilkan inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tahu.
Tahap keempat, penarikan air yang terkandung dalam susu kedelai dengan menggunakan baku tahu (Kalsium Sulfat = CaSO4). Kalsium sulfat yang bersifat anhidrad ini akan menarik air yang terdapat dalam susu kedelai. Dengan penarikan air ini, akan membuat partikel dalam susu kedelai menurun kelarutannya dan menggumpal menjadi tahu. Semakin banyak kalsium sulfat yang ditambahkan dalam susu kedelai, maka akan semakin banyak partikel susu kedelai yang kehilangan kelarutannya. Dengan begitu tahu yang terbentuk akan semakin banyak.
Tahap terakhir dalam proses pembuatan tahu ini, yaitu pemadatan tahu. Gumpalan tahu yang terbentuk tersebut dicetak dan ditekan, tujuan perlakuan ini, yaitu agar gumpalan tahu yang terbentuk menjadi padat dan tidak mudah hancur.

Penentuan Kadar Protein Dengan Metode Kjeldahl

Prinsip dari penentuan kadar protein dengan metode kjedahl adalah penentuan jumlah Nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan dengan cara mendegradasi protein bahan organik dengan menggunakan asam sulfat pekat untuk menghasilkan nitrogen sebagai amonia, kemudian menghitung jumlah nitrogen yang terlepas sebagai amonia lalu mengkonversikan ke dalam kadar protein dengan mengalikannya dengan konstanta tertentu. Analisa protein dengan metode kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu proses destruksi, proses destilasi, dan tahap titrasi.
Pada percobaan ini, akan dianalisis kadar protein pada kedelai mentah, kedelai rebus, susu kedelai, serta tahu.

1) Proses destruksi
Pada tahap ini, masing-masing sampel (kedelai mentah, kedelai rebus, susu kedelai, dan tahu) dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi penguraian sampel menjadi unsur-unsurnya yaitu unsur-unsur C, H, O, N, S, dan P. Unsur N dalam protein ini dipakai untuk menentukan kandungan protein dalam suatu bahan. Satu gram dari masing-masing sampel, yaitu kedelai mentah; kedelai rebus; susu kedelai; dan tahu ditambah dengan katalisator berupa campuran selenium sebanyak 0,5-1 gram. Sampel dan campuran selenium tersebut dimasukkan ke dalam labu kjedahl. Katalisator selenium ini berfungsi untuk mempercepat proses destruksi dengan menaikkan titik didih asam sulfat saat dilakukan penambahan H2SO4 pekat, serta mempercepat kenaikan suhu asam sulfat, sehingga destruksi berjalan lebih cepat dan lebih sempurna. Katalisator N atau campuran selenium tersebut terdiri dari campuran Na2SO4 anhidrad dan CuSO4. Ion logam Cu akan menaikkan titik didih H2SO4 sedangkan Na2SO4 anhidrad akan menarik air yang terdapat pada sampel. Karena titik didih menjadi lebih tinggi, maka asam sulfat akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguap. Karena hal ini, kontak asam sulfat dengan sampel akan lebih lama sehingga proses destruksi akan berjalan lebih efektif.
Setelah ditambah katalisator N, sampel dimasukkan dalam labu kjedahl kemudian ditambah dengan 10 ml H2SO4 pekat. H2SO4 pekat yang dipergunakan untuk destruksi diperhitungkan dari adanya bahan protein. Asam sulfat yang bersifat oksidator kuat akan mendestruksi sampel menjadi unsur-unsurnya. Untuk mendestruksi 1 gram protein diperlukan 9 gram asam sulfat. Penambahan asam sulfat dilakukan dalam ruang asam untuk menghindari S yang berada di dalam protein terurai menjadi SO2 yang sangat berbahaya. Setelah penambahan asam sulfat larutan menjadi keruh.
Labu kjedahl yang berisi sampel kemudian ditempatkan dalam alat destruksi (destruktor) dan ditutup dengan corong. Setelah siap alat dinyalakankan dan akan terjadi pemanasan yang mengakibatkan reaksi berjalan lebih cepat. Sampel didestruksi hingga larutan berwarna jernih yang mengindikasikan bahwa proses destruksi telah selesai. Selama destruksi, akan terjadi reaksi sebagai berikut,
2 Cu + H2SO4 --> Cu2SO4 + SO2 + 2 On
Cu2SO4 + 2 H2SO4 --> 2CuSO4 + 2 H2O + SO2
(CHON) + On + H2SO4 -->CO2 + H2O + (NH4)2SO4
Alat destruksi bekerja berdasar prinsip lemari asam. Selama proses destruksi akan dihasilkan gas SO2 yang berbau menyengat dan dapat membahayakan jika dihirup dalam jumlah relatif banyak. Gas yang dihasilkan ini akan bergerak ke atas (tersedot penutup) dan akan disalurkan ke alat penetral. Alat ini terdiri dari dua larutan yaitu NaOH dan aquadest. Awalnya gas SO2 akan masuk dalam tabung yang berisi NaOH. Dalam tabung ini terjadi penetralan gas SO2 oleh larutan NaOH. Kemudian gas hasil penetralan tahap pertama masuk dalam tabung kedua yang berisi aquadest. Dalam tabung ini kembali terjadi penetralan sehingga diharapkan semua gas SO2 telah ternetralkan.
Selain dibebaskan gas SO2 juga dibebaskan gas CO2 dan H2O sesuai dengan reaksi sebagai berikut: panas
Bahan organik + H2SO4 --> CO2 + SO2 + (NH4)2SO4 + H2O
Proses destruksi dapat dikatakan selesai apabila larutan berwarna jernih. Larutan yang jernih menunjukkan bahwa semua partikel padat bahan telah terdestruksi menjadi bentuk partikel yang larut tanpa ada partikel padat yang tersisa. Larutan jernih yang telah mengandung senyawa (NH4)2SO4 ini kemudian didinginkan supaya suhu sampel sama dengan suhu luar sehingga penambahan perlakuan lain pada proses berikutnya dapat memperoleh hasil yang diinginkan karena reaksi yang sebelumnya sudah usai.

2) Proses destilasi
Larutan sampel jernih yang telah dingin kemudian ditambah dengan aquadest untuk melarutkan sampel hasil destruksi agar hasil destruksi dapat didestilasi dengan sempurna serta untuk lebih memudahkan proses analisa karena hasil destruksi melekat pada labu kjedahl. Kemudian larutan sampel didestilasi dalam tabung destilasi. Pada dasarnya tujuan destilasi adalah memisahkan zat yang diinginkan, yaitu dengan memecah amonium sulfat menjadi amonia (NH3) dengan menambah beberapa mL NaOH hingga tepat basa, kemudian larutan sampel ini dipanaskan. Prinsip destilasi adalah memisahkan cairan atau larutan berdasarkan perbedaan titik didih. Fungsi penambahan NaOH adalah untuk memberikan suasana basa karena reaksi tidak dapat berlangsung dalam keadaan asam.
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan oleh pemanas dalam alat destilasi. Selain itu sifat NaOH yang apabila ditambah dengan aquadest menghasilkan panas, meski energinya tidak terlalu besar jika dibandingkan pemanasan dari alat destilasi, ikut memberikan masukan energi pada proses destilasi. Panas tinggi yang dihasilkan alat destilasi juga berasal dari reaksi antara NaOH dengan (NH4)2SO4 yang merupakan reaksi yang sangat eksoterm sehingga energinya sangat tinggi. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam standar yang dipakai dalam percobaan ini adalah asam borat. Asam standar yang dapat dipakai adalah asam borat 5 % sebanyak 10 mL.
Larutan sampel yang telah terdestruksi dimasukkan dalam tabung destilasi dan ditempatkan di sebelah kiri. Kemudian alat destilasi berupa pipa kecil panjang dimasukkan ke dalamnya hingga hampir mencapai dasar tabung reaksi sehingga diharapkan proses destilasi akan berjalan maksimal (sempurna). Erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 5 % + BCG-MR (campuran brom cresol green dan methyl red) ditempatkan di bagian kanan bawah alat destilasi, seperti terlihat pada gambar hasil pengamatan. BCG-MR merupakan indikator yang bersifat amfoter, yaitu bisa bereaksi dengan asam maupun basa. Indikator ini digunakan untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebih. Selain itu alasan pemilihan indikator ini adalah karena memiliki trayek pH 6-8 (melalui suasana asam dan basa / dapat bekerja pada suasana asam dan basa), yang berarti memiliki rentang trayek kerjanya yang luas (meliputi asam-netral-basa). Pada suasana asam, indikator akan berwarna merah muda, sedang pada suasana basa akan berwarna hijau-biru. Setelah ditambah BCG-MR, larutan akan berwarna merah muda karena berada dalam kondisi asam.
Asam borat (H3BO3) berfungsi sebagai penangkap NH3 sebagai destilat berupa gas yang bersifat basa. Supaya ammonia dapat ditangkap secara maksimal, maka sebaiknya ujung alat destilasi ini tercelup semua ke dalam larutan asam standar sehingga dapat ditentukan jumlah protein sesuai dengan kadar protein bahan. Selama proses destilasi lama-kelamaan larutan asam borat akan berubah warna menjadi hijau kebiruan, hal ini karena larutan menangkap adanya ammonia dalam bahan yang bersifat basa sehingga mengubah warna merah muda menjadi biru.
Reaksi yang terjadi :
(NH4)2SO4 + NaOH --> Na2SO4 + 2 NH4OH
2NH4OH --> 2NH3 + 2H2O
4NH3 + 2H3BO3 --> 2(NH4)2BO3 +H2
Reaksi destilasi akan berakhir bila ammonia yang telah terdestilasi tidak ada lagi, hal ini diuji dengan menggunakan kertas lakmus merah pada ujung alat destilasi. Apabila lakmus merah tidak berubah warna menjadi biru, maka proses destilasi telah selesai. Setelah destilasi selesai larutan sampel berwarna keruh dan larutan asam dalam erlenmeyer berwarna hijau kebiruan karena dalam suasana basa akibat menangkap ammonia. Ammonia yang terbentuk selama destilasi dapat ditangkap sebagai destilat setelah diembunkan (kondensasi) oleh pendingin balik di bagian belakang alat destilasi dan dialirkan ke dalam erlenmeyer.

3) Tahap titrasi
Titrasi merupakan tahap akhir dari seluruh metode Kjeldahl pada penentuan kadar protein dalam bahan pangan yang dianalisis. Dengan melakukan titrasi, dapat diketahui banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia. Untuk tahap titrasi, destilat dititrasi dengan HCl yang telah distandarisasi (telah disiapkan) sebelumnya. Normalitas yang diperoleh dari hasil standarisasi adalah 0,1 N. Jadi, banyaknya HCl yang diperlukan untuk menetralkan ekuivalen dengan banyaknya N. Titrasi HCl dilakukan sampai titik ekuivalen yang ditandai dengan berubahnya warna larutan hijau kebiruan menjadi merah karena adanya HCl berlebih yang menyebabkan suasana asam (indikator BCG-MR berwarna merah muda pada suasana asam). Melalui titrasi ini, dapat diketahui kandungan N dalam bentuk NH4 sehingga kandungan N dalam protein pada sampel dapat diketahui.

Adanya penurunan kadar protein ini disebabkan adanya protein yang terdenaturasi selama proses pembuatan tahu. Proses perebusan telah meningkatkan suhu kacang kedelai yang digunakan. Suhu tinggi ini akan merusak ikatan hidrogen dari protein dan juga membuat molekul penyusun protein bergetar dikarenakan energi kinetiknya yang tinggi, hal ini akan mengacaukan ikatan yang ada antar molekul dan membuat protein terdenaturasi.
Hal yang sama juga terjadi ketika kedelai tersebut telah dihancurkan. Protein kedelai yang terdapat dalam kacang kedelai tidak sepenuhnya larut dalam air membentuk sari kedelai. Hal ini diduga membuat adanya protein yang tertinggal pada ampas kedelai. Hanya saja pada percobaan ini tidak dilakukan pengukuran kadar protein yang terdapat pada ampas kedelai. Karena dianggap protein kedelai larut sempurna dalam sari kedelai.
Sari kedelai ini dipanaskan kembali seiring dengan penambahan air. Proses pemanasan yang bertahap pada pembuatan tahu ini akan membuat protein yang berasal dari kedelai semakin banyak yang terdenaturasi karena panas. Oleh karena itu, sari kedelai yang terdapat dalam bentuk susu kedelai ini, semakin menurun kadar proteinnya.
Namun berbeda halnya dengan tahu, pada pembuatan tahu digunakan batu tahu yang berguna untuk menggumpalkan protein yang ada tanpa mendenaturasi protein yang terdapat di dalamnya. Penambahan batu tahu yang berupa garam K2SO4 ini akan menetralkan muatan yang ada dalam protein tersebut sehingga membuatnya terkoagulasi atau menggumpal.
Berdasarkan uji yang dilakukan, tahu memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu kedelai serta kedelai rebus yang dihancurkan. Hal ini karena dengan adanya penggumpalan membuat protein yang ada dalam larutan memadat dan semakin terkonsentrasi proteinnya. Sehingga dalam satu gram susu kedelai yang mengandung sejumlah air akan memiliki konsentrasi protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan satu gram protein pada tahu yang telah terhidrad (tidak mengandung air). Pada tahu 1 gram tersebut merupakan protein yang terkoagulasi dengan sedikit asupan air dalam beratnya. Dengan begitu kadar protein dalam tahu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu kedelai.
Jika dibandingkan dengan kedelai rebus, tahu juga memiliki nilai kandungan protein yang lebih tinggi. Hal ini karena dalam bentuk kedelai rebusnya, protein yang ada masih terdapat dalam bentuk kedelai yang juga mengandung senyawa lain selain protein, seperti karbohidrat dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam berat yang sama kedelai rebus akan memiliki persen berat protein yang lebih kecil dibandingkan dengan koagulasi protein dalam tahu.
Walaupun demikian, kadar protein tertinggi terdapat dalam kedelai mentah. Hal ini karena, walaupun dalam setiap biji kedelai tersebut terkandung senyawaan lain, namun protein yang terdapat di dalamnya belum mendapat perlakuan lain, seperti pemanasan, sehingga tidak adanya protein ang terdenaturasi.
Disamping analisis hasil yang telah dijabarkan di atas, maka terdapat beberapa faktor-faktor lain, seperti analisa faktor kesalahan selama percobaan. Faktor kesalahan tersebut, seperti adanya amonia yang keluar dari sistem selama proses destilasi, seperti melalui celah sepanjang saluran destilasi; ketika pengecekan tabung destilasi dengan kertas lakmus; tidak selalu tercelupnya tabung destilasi dalam asam borat; serta tidak rapatnya sistem pada labu erlemeyer.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa kualitas tahu akan tergantung pada kadar protein yang terkandung didalamnya. Kadar protein tersebut akan dipengaruhi oleh perlakuan selama proses pembuatan, seperti pemanasan yang akan dapat mendenaturasi protein, pelumatan yang akan mengurangi jumlah protein yang dipakai karena terbuang dalam ampas, serta penggumpalan protein menjadi tahu.

Ekosistem Gua

EKOSISTEM GUA
“Suatu Sisi Kehidupan yang Unik Dalam Kegelapan”

Gua merupakan suatu ekosistem yang unik dan sedikit berbeda dibandingkan dengan jenis ekosistem lainnya. Ada yang beberapa yang menganggap bahwa gua merupakan suatu ekosistem yang bersifat tertutup dan terisolasi. Namun hal ini tidak pernah sebenarnya terjadi dalam ekosistem gua. Ekosistem gua sama halnya dengan ekosistem lainnya, dimana berupa sebuah ekosistem yang terbuka dengan semua komponen saling berkaitan baik dalam lingkungan gua maupun lingkungan luar gua. Hanya saja keterkaitan yang tercipta dari interaksi antar komponennya memiliki beberapa karakteristik yang unik menarik.
Ekosistem gua yang akan dibahas kali ini, yaitu ekosistem gua yang terbentuk dari batuan gamping. Oleh karena itu, pertama-tama akan dijelaskan secara singkat mengenai karst atau gunung gamping sebagai asal mula terbentuknya gua batuan gamping ini.
Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah ‘krst / krast’ yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste. kosistem Karst adalah areal-areal yang mempunyai lithologi dari bahan induk kapur (http://timpakul.web.id/). Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping (http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:gua).
Pembentukan Gua
1. Kelarutan batu gamping dalam air relatif kecill, tetapi meningkat dengan pekatnya asam. Asam humat dari sampah organik sisa-sisa tumbuhan; asam sulfat dari aktivitas hidrotermal, proses oleh bakteri, atau mineral sulfit yang sering terdapat dalam batu; serta karbon dioksida merupakan sumber asam yang penting (termasuk hujan asam). Air hujan dapat meningkat kelarutannya pada saat melewati tanah yang menutupi batu gamping. Pada saat itu konsentrasi CO2 dapat lebih tinggi 100 kali dibandingkan atmosfer. Asam dilepaskan oleh tanah ataupun batu, sehingga meningkatkan daya larut air hujan.
2. Dalam jangka panjang, air ini mampu mengikis permukaan batu gamping di bawah tutupan tanah, dan memperluas retakan-retakan hingga terbentuk gua dan tebing. Hal ini akan menghiasi dinding gua dengan stalaktit, stalagmit dan hiasan-hiasan lain yang disebut speleothem, sebagian CO2 akan terlepas dari air, menjenuhi udara, dan mengendapkan kalsit.
3. Tanah dan vegetasi penutup sangat krusial dalam pembangunan karst; menyingkap tanah merupakan gangguan utama proses di dalam karst.
(Vermeulen dan Whitten, 1999 dlm Setyawan, 2007).
Karakteristik Ekosistem Gua
Morfologi daerah gua antara lain sebagai berikut,
· Daerahnya berupa cekungan-cekungan
· Terdapat bukit-bukit kecil
· Sungai-sungai yang nampak dipermukaan hilang dan terputus ke dalam tanah.
· Adanya sungai-sungai di bawah permukaan tanah
· Adanya endapan sedimen lempung berwama merah hasil dari pelapukan batu gamping.
· Permukaan yang terbuka nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing.
(http://www.e-dukasi.net/pengpop/pp_full.php?ppid188&fname=#gua)

Zonasi Kehidupan Gua berdasarkan Adaptasi
Dalam klasifikasi klasik, organisme gua dibedakan berdasarkan tingkat adaptasinya terhadap lingkungan gua, yaitu:
1. Trogloxene. Troglexene berasal dari kata Troglos yang artinya gua dan xenos yang berati tamu. Berdasarkan asal katanya dapat kita ketahui bahwa Trogloxene adalah organisme yang hidup di dalam gua namun tidak pernah menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di dalam gua. Organisme ini hanya menggunakan gua sebagai habitatnya hanya pada siklus tertentu dalam hidupnya, seperti hibernasi, masa bereproduksi seperti bertelur. Organisme tipe ini tidak memerlukan adaptasi khusus terhadap lingkungan gua yang mereka tempati. Kelelawar merupakan salah satu contoh hewan trogloxene. Contoh lain dari organism tipe ini, yaitu beruang, sigung, dan rakun (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
2. Troglophile. Troglophile berasal dari kata troglos yang berarti gua dan phileo yang berarti cinta. Oleh karena itu, Troglophile adalah suatu organisme yang menyelesaikan seluruh siklus hidupnya di dalam gua, namun individu yang lain dari jenis yang sama juga hidup di luar gua, seperti salamander, cacing tanah, kumbang dan crustacean (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
3. Troglobite. Troglobite berasal dari kata troglos yang berati gua dan bios yang berarti hidup. Troglobite adalah organisme gua sejati dan hidup secara permanen di zona gelap total dan hanya ditemukan di dalam gua. Organisme ini memiliki bentuk adaptasi fisiologis terhadap habitatnya. Bentuk adaptasi ini seperti tereduksinya indera penglihatan, tubuh tidak berpigmen, waktu reproduksinya tertentu, mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang (Jangkrik gua mempunyai antena 20-21 mm), mempunyai alat indera (alat penggetar) yang sudah berkembang, serta metabolismenya lamabat karena kurangnya suplai makanan. Selain itu juga, organism ini dapat beradaptasi dengan lingkungan kelembaban yang tinggi. Contoh: ikan Amblyopsis spelaeus, Puntius sp, Bostrychus sp; udang karang (cave crayfish); kaki seribu (millipedes); dan juga salamanders serta serangga
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm)
Berdasarkan ketersediaan cahaya matahari, maka dibagi kedalam empat zonasi, yaitu:
1. Zona mulut atau zona terang (entrance zone). Pada zona ini menerima cahaya matahari langsung dan iklim gua sangat terpengaruh oleh faktor luar gua. Temperatur dan kelembaban berfluktuasi tergantung kondisi luar gua. Kondisi iklim mikro di mulut gua masih sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi di luar gua Mulut gua mempunyai komposisi fauna yang mirip dengan komposisi fauna di luar gua seperti rakun, beruang, salamander, burung hantu, serta siput. Selain itu, ada zona ini juga ditemukan tanaman, seperti lumut, pakis dan tanaman paku (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
2. Zona senja atau zona remang-remang (twilight zone) adalah zona dengan cahaya matahari tidak langsung, berupa pantulan cahaya dari zona mulut. Di zona peralihan ini kondisi lingkungan masih dipengaruhi oleh luar gua, yaitu masih ditemukannya aliran udara. Temperatur dan kelembaban juga masih dipengaruhi oleh lingkungan luar gua. Komposisi fauna pada zona ini mulai berbeda baik dari segi jumlah jenis maupun individu. Kemelimpahan jenis dan individu lebih sedikit dibandingkan di daerah mulut gua. Pada zona ini akan ditemukan organisme dari jenis trogloxene, seperti kelelawar, laba-laba, ngengat, kaki seribu, dan jamur. Hewan pada zona ini bersifat dapat masuk dan keluar dari gua selama siklus hidupnya
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
3. Zona gelap (dark zone) adalah zona dimana tidak ada cahaya sama sekali. Daerah ini merupakan daerah yang gelap total sepanjang masa, kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil sekali. Jenis fauna yang ditemukan sudah sangat khas dan telah teradaptasi pada kondisi gelap total. Organisme gua sejati hidup di zona ini, seperti fauna yang berasal dari golongan Troglobite. Fauna yang ditemukan biasanya mempunyai jumlah individu yang kecil namun mempunyai jumlah jenis yang besar
(http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
4. Zona yang terakhir adalah zona gelap total dimana sama sekali tidak terdapat aliran udara kondisi temperatur dan kelembaban mempunyai fluktuasi yang sangat kecil. Biasanya mempunyai kandungan karbondioksida yang sangat tinggi. Zona ini biasanya terdapat pada sebuah ruangan yang lorongnya sempit dan berkelok‐kelok (http://animals.howstuffworks.com/animal-facts/cave-biology2.htm).
Flora Fauna Pada Ekosistem Gua

1. Mikroorganisme dan decomposer pada ekosistem gua, seperti jamur dan bakteri
2. Kelelawar Pemakan Serang, Pemakan Buah, dan Burung Walet
Lebih dari separuh spesies kelelawar pemakan serangga dan 3-4 spesies kelelawar buah, menggunakan gua sebagai tempat tinggal, baik secara permanen atau hanya pada masa tertentu saja. Spesies kelelawar yang bersarang di gua memiliki preferensi berbeda-beda terhadap kondisi gua. Kelelawar buah Eonycteris spelaea ditemukan pada ruangan di dekat mulut gua (Goodwin, 1979). Kelelawar lain, Miniopterus cenderung ditemukan di zona gelap (Marshall, 1971). Beberapa spesies kelelawar, termasuk kelelawar buah dan kelelawar pemakan serangga bersarang di zona antara atau zona transisi. Beberapa jenis kelelawar dan walet memiliki kemampuan echolocate; yakni menghasilkan suara dan memperkirakan echoes yang direfleksikan kembali oleh benda keras, sehingga mereka memiliki gambaran lingkungan sekitarnya. Di dalam gua kemampuan ini digunakan untuk menghindari batu-batuan, sedangkan di luar gua digunakan untuk mendeteksi mangsa. Familia hewan yang berbeda menggunakan sistem echolocate yang berbeda pula, dan beberapa di antaranya dapat mendeteksi hewan berukuran 1 mm. Oleh karena itu kelelawar dapat dengan mudah menangkap mangsanya, namun beberapa jenis serangga dapat pula mendeteksi echolocate, sehingga dapat menghindar atau mengeluarkan bunyi-bunyian yang membingungkan (Fenton dan Fullard 1981; Fenton 1983).
3. Arthropoda. Arthropoda merupakan instrumen ekonomi penting karena dapat mengontrol hama dan penyakit tanaman. Taksa ini juga penting sebagai agen penyerbuk bunga dan dekomposisi seresah untuk menyuplai hara. Arthropoda (serangga, laba-laba, udang, centipede, millipede, dan lainnya) juga menjadi dasar rantai makanan, sehingga menjadi sangat penting karena menyusun bagian dasar rantai makanan dan menjaga keseimbangan lingkungan serta memberi makan hewan lain seperti ikan, reptil, burung, dan mamalia. Kebanyakan arthropoda tidak sepenuhnya tinggal di kawasan karst, namun kerusakan lingkungan di sekitarnya seringkali menjadikan kawasan karst sebagai tempat pengungsiannya yang terakhir (Vermeulen dan Whitten, 1999). Beberapa di antaranya memiliki alat-alat tambahan yang sangat panjang sebagai bentuk adaptasi fisiologisnya terhadap lingkungan, misalnya kaki centipede dan antena jengkerik.
4. Molusca dan Cacing, organism ini berperan sebagai konsumen tingkat satu yang akan membawa makanan jauh ke dalam gua.
5. Ikan, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Hidup jauh di dalam gua yang gelap. Terdapat adaptasi fisiologis, yaitu tereduksinya organ penglihatan. Ikan pada ekosistem gua menempati posisi predator pada rantai makanan.
6. Salamander, berperan sebagai predator pada ekosistem gua. Salamander pada sisi kiri merupakan salamander yang berhabitat pada daerah senja atau remang-remang pada gua, sedangkan salamander pada sisi kanan merupakan salamander yang bermukim di zona gelap.
7. Ular
Rantai Makanan Pada Ekosistem Gua
Kondisi gelap total tidak memungkinkan produsen utama seperti di lingkungan luar gua dapat hidup. Hal ini menyebabkan sumber energi dalam gua merupakan sumber energi yang allochtonous dan sangat bergantung pada produktivitas mikroorganisme yang ada dalam gua maupun sumber‐sumber lain yang berasal dari luar gua.
Kelangkaan makanan menyebabkan beberapa hewan dapat menahan lapar untuk jangka waktu lama, hingga musim hujan ketika makanan masuk gua, serta dapat menyimpan sejumlah besar lemak (Howarth, 1983 dlm Rahmadi, 2007).
Sumber energi gua masuk ke dalam lingkungan gua melalui beberapa cara, menurut Culver (1986) ada 5 sumber pakan yang penting untuk habitat terestrial di dalam gua di daerah empat musim yaitu guano kelelawar, telur dan guano jangkrik gua, mikroorganisme, kotoran mamalia dan bangkai hewan dan terakhir adalah serasah tanaman yang terbawa banjir. Sumber pakan yang penting berasal dari akar‐akar yang menerobos melalui celah rekahan dan menggantung di langit‐langit gua.
Berdasarkan kemelimpahan dan jenis sumber pakan dibedakan 5 tipe gua, yaitu
1. Oligotrophic yaitu gua yang mempunyai jumlah ketersediaan bahan organik yang rendah yang berasal dari hewan atau tumbuhan.
2. Eutrophic adalah gua yang mempunyai ketersediaan bahan organik yang sangat tinggi, umumnya berasal dari hewan, khususnya guano kelelawar.
3. Distrophic adalah gua yang ketersediaan bahan organik berasal dari tumbuhan yang terbawa banjir.
4. Mesotrophic adalah gua yang berada pada tingkat menengah antara tiga tipe tersebut dan dicirikan dengan ketersediaan bahan organic dari hewan dan tumbuhan dalam jumlah yang sedang.
5. Poecilotrophic adalah gua yang merupakan pemanjangan bagian gua dengan suplai energi yang berbeda dengan rentang bagian oligotrophic sampai eutrophic.
(Gnaspini dan Trajano, 2000 dlm Rahmadi, 2007).
Energi di dalam gua berasal dari deposit bahan organik, seperti guano di bawah tempat bertengger kelelawar dan burung walet; sisa-sisa akar tumbuhan yang masuk melalui celah di langit-langit gua, serta seresah tumbuhan dan hewan-hewan kecil yang terbawa masuk oleh air hujan. Di kawasan tropis, akar pepohonan merupakan sumber bahan organik yang penting di gua; banyak pohon, seperti Ficus, dapat bertahan lingkungan karst yang tandus, dengan menjalarkan akarnya jauh ke dalam batu gamping, sering hingga di bawah permukaan air tanah. Organisme tertentu, seperti fungi, protozoa, dan bakteri menguraikan deposit ini sebagai nutrien-nutrien yang akan digunakan sebagai sumber energi bagi organisme yang berada di dalam gua. Selanjutnya, perpindahan energi ini dilakukan oleh konsumen primer gua, yaitu berupa golongan nematode, kecoa, dan kumbang atau insekta lainnya. Konsumen primer ini kemudian akan dimakan oleh bangsa arthropoda yang lebih besar, seperti jangkerik, centipede, laba-laba, dan juga ikan atau kepiting gua. Pada konsumen teratas sering pula ditemui reptile, seperti ular. Rantai makanan ini terus bergulir, dimana konsumen teratas akan mati dan diuraikan kembali oleh mikroorganisme yang berada di dalam gua mejadi nutrient-nutrien sederhana sebagai sumber energi kehidupan ekosistem gua (Vermeulen dan Whitten, 1999; Whitten et al., 2000 dlm Setyawan, 2007).
Fungsi Ekosistem Gua

Fungsi Ekonomi
Gua yang umumnya dijumpai dikawasan karst sudah lama dijadikan manusia sebagai hunian. Selain sebagai hunian, kawasan karst juga tempat untuk pertanian/peternakan, perkebunan, kehutanan, penambangan batu gamping, penambangan guano (kotoran kelelawar), penyediaan air bersih, air irigasi dan perikanan, serta kepariwisataan.
Salah satu pemanfaatan yang merugikan adalah penambangan batu gamping. Dengan menggunakan bahan peledak akan menganggu hewan didalamnya (kelelawar, burung walet).
Pemanfaatan yang baik untuk kelestarian kawasan karst adalah pariwisata yang selalu berusaha untuk mempertahankan keaslian dan keunikan kawasan karst tersebut.
(Rahmadi, 2007)

Fungsi Sosial
Nilai sosial-budaya kawasan karst selain menjadi tempat tinggal juga mempunyai nilai spiritual/religius, estitika, rekreasional dan pendidikan. Banyak tempat di kawasan karst yang digunakan untuk kegiatan spiritual/religius. Banyak aspek hubungan antara manusia dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat spiritual khususnya dengan keyakinan masyarakat dengan fenomena alam di sekitarnya seperti halnya gua. Hubungan antara manusia dan alam disekitarnya pada dasarnya akan memberikan pelajaran kepada manusia bagaimana melestarikan alam dan dekat dengan Sang Penciptanya (Rahmadi 2007).

Fungsi Ilmu Pengetahuan
Kawasan karst dapat menjadi obyek kajian yang menarik bagi berbagai disiplin ilmu antara lain: geologi, geomorfologi, hidrologi, biologi, arkeologi dan karstologi. Masing-masing disiplin ilmu tersebut mempunyai ketertarikan terhadap kawasan karst karena kandungan fenomenanya sangat berbeda dengan kawasan lain di permukaan bumi ini. Fenomena abiotik, biotik di atas permukaan dan di bawah permukaan kawasan karst masih belum banyak yang terungkap. Kawasan karst masih mengandung berbagai tantangan ilmiah dari berbagai sudut ilmu pengetahuan. Masih banyak hal yang manusia belum ketahui di dalam perut bumi dengan kegelapan abadinya (Rahmadi, 2007).
Contoh Ekosistem Gua di Indonesia
· Pegunungan Sewu, yang membentang dari Kabupaten Bantul di barat hingga Kabupaten Tulungagung di timur.
· Pegunungan Kapur Utara, mencakup daerah Kudus, Pati, Grobogan, Blora dan Rembang Jawa Tengah)
· Semenanjung Sangkulirang - Tanjung Mangkaliat (Kalimantan Timur), seluas 293.747,84 hektar
· Bukit Barisan, mencakup Baturaja (Kabupaten Ogan Kombering Ulu)
(http://id.wikipedia.org/wiki/kategori:gua)